skip to Main Content
admin@sirohnabawiyah.com
Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Membangun Mesjid

Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun Mesjid Nabawi. Lokasinya diambil di tempat berdekamnya onta Rasulullah saat pertama kali beliau tiba di Madinah. Tanah tersebut dibeli dari dua orang anak yatim.

Pembangunan mesjid dimulai, dan Rasulullah terlibat langsung di dalamnya, beliau mengangkat batu bata, seraya melantunkan bait:
“Ya Allah, tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat. Ampunilah orang-orang Anshar dan Muhajirin”
Hal tersebut tentu saja menambah semangat para sahabat untuk bekerja.

Kiblat mesjid menghadap ke Baitul Maqdis (Sebelum kiblatnya dirubah ke Masjidil haram). Kedua sisinya dibuat dari batu, sementara dinding mesjid terbuat dari bata dan tanah. Sedang atapnya dari pelepah kurma dan tiangnya dari pangkal pohon Korma, sedang lantainya dihamparkan batu kerikil dan pasir. Pintunya ada tiga. Panjang mesjid dari Kiblat hingga belakang kurang lebih seratus hasta, begitu juga lebarnya. Pondasinya sekitar tiga hasta.
Selesai membangun mesjid, Rasulullah membangun perumahan untuk isteri-isterinya, yang terbuat dari tanah liat dengan atap pelepah kurma. Kemudian beliau pindah dari rumah Abu Ayub al-Anshari.
Mesjid Nabawi pada saat itu, selain sebagai tempat shalat, juga merupakan tempat berkumpul kaum muslimin untuk membicarakan berbagai hal penting dan menyelesaikan berbagai perkara di antara mereka. Selain itu, berfungsi juga sebagai tempat tinggal bagi kalangan Nuhajirin yang tidak mendapatkan tempat tinggal atau sanak saudara di Madinah.

Mempersaudarakan Kaum Muslimin

Langkah Rasulullah berikutnya adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Hal tersebut terjadi di rumah Anas bin Malik. Saat itu berkumpul sembilan puluh orang, sebagian dari kalangan Anshar, dan sebagian lagi dari kalangan Muhajirin. Lalu Rasulullah mempersaudarakan mereka satu persatu, untuk saling tolong menolong dan saling mewarisi. Hingga kemudian Allah menurunkan ayatnya:
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabatnya)” (QS. al-Anfal : 75)
Maka setelah itu, waris hanya diberikan kepada kerabat, namun persaudaraan mereka tetap berlaku.
Persaudaraan tersebut benar-benar diwujudkan oleh kaum muslimin dengan kesungguhan. Orang-orang Anshar sangat besar perhatiannya terhadap saudara-saudaranya dari kalangan Muhajirin. Mereka sangat mengasihi saudaranya, mengorbankan hartanya, bahkan lebih mementingkan saudaranya walaupun mereka sendiri kesusahan (itsar). Sementara kaum Muhajirin menerimanya dengan sewajarnya, tidak menjadikannya sebagai kesempatan yang berlebih-lebihan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’.
Sa’ad berkata:

“Saya orang Anshar yang kaya, saya akan bagi dua harta saya, dan saya memiliki dua isteri, yang mana yang kamu suka, sebutkan saja, saya akan menceraikannya dan jika telah selesai iddahnya, nikahilah”.
Namun dengan santun Abdurrahman bin ‘Auf menjawab:
“Semoga Allah memberkahimu, keluargamu dan hartamu, mohon tunjukkan kepada saya di mana pasar Madinah?”.
Lalu Sa’ad menunjukkan kepadanya pasar Bani Qainuqa untuk melakukan kegiatan perdagangan di sana, dan tak beberapa lama dia sudah dapat menghasilkan keuntungan yang besar.

Tindakan mempersaudarakan ini sangat efektif dalam mengatasi problem kesenjangan sosial antara kaum Muhajirin dan Anshar.

Letak rumah Ummul Mukminin

Rumah Rasulullah 3D

Masjid Nabawi pada zaman Rasulullah

Renovasi Perluasan Masjid Nabawai

Back To Top