skip to Main Content
admin@sirohnabawiyah.com
Perang Tabuk

Perang Tabuk

Berhasilnya Rasulullah menguasai Jazirah Arabia setelah penaklukan kota Mekkah dan suku-suku yang ada di dalamnya, menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi kekuatan Romawi -kekuatan militer terbesar kala itu-. Apalagi mereka pernah merasakan bagaimana tangguhnya pasukan kaum muslimin dalam perang Mu’tah sebelumnya yang meskipun kala itu, pasukan kaum muslimin tidak berhasil menuntut balas secara setimpal atas terbunuhnya utusan Rasulullah oleh bangsa Romawi, namun tampak bahwa kekuatan kaum muslimin tidak boleh dianggap remeh. Apalagi sekarang kekuasan mereka semakin besar dan pengikutnya semakin banyak.

Maka, sebelum terlambat dan menjalarnya kekuasaan Rasulullah hingga ke daratan Romawi, Kaisar Romawi menggalang kekuatannya kembali bersama suku Arab yang masih loyal kepada mereka dari keluarga Gashan untuk menyerbu kaum muslimin.

Berita di Madinah

Berita tentang persiapan kaum Romawi sayup-sayup terdengar di kalangan kaum muslimin di Madinah. Kekhawatiran menjalar di tengah masyarakat. Jika ada suara-suara yang tidak biasa terdengar, mereka segera menduga bahwa hal itu adalah serbuan kaum Romawi. Bahkan disebabkan beratnya memikirkan hal tersebut, Rasulullah sempat menjauhi isterinya selama sebulan, sehingga sebagian sahabat mengira bahwa beliau telah mentalak isteri-isterinya.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab suatu hari berada di rumahnya, tiba-tiba datang seorang sahabat dari Anshar dengan tergesa-gesa menuju rumahnya seraya berkata :

“Buka, Buka”. Umar berkata: “Apakah (suku) Ghassan sudah datang ?”, sahabat tadi berkata : “Justru lebih besar dari itu, Rasulullah telah menceraikan isteri-isterinya”.

Kaum munafik yang menyaksikan kepanikan kaum muslimin kala itu segera mengambil kesempatan untuk memenuhi dendam kesumat mereka. Mereka mendirikan markas dalam bentuk mesjid yang dibangun berdasarkan kekufuran dan untuk memecah belah kaum muslimin. Masjid tersebut kemudian dikenal dengan Mesjid Dhiror (Mesjid yang merusak). Mereka menawarkan Rasulullah untuk shalat di dalamnya. Namun Rasulullah tidak shalat di dalamnya, tapi justru sibuk menghadapi peperangan.

Kepastian berita persiapan bangsa Romawi yang akan menyerbu kaum muslimin di Madinah baru didapatkan setelah ada orang pedusunan dari Syam yang datang membawa minyak Zaitun ke Madinah mengabarkan bahwa Heraklius telah menyiapkan pasukan raksasa berjumlah 40.000 prajurit, dan sekarang telah tiba di daerah Balqa’.

Kondisi semakin kritis ketika di Madinah pada saat itu, sedang terjadi musim kering yang parah. Masyarakat sedang kesulitan dan sedikit persediaan, sementara itu buah-buahan sedang siap petik, maka tentu saja mereka lebih senang berdiam menunggu hasil pertanian mereka yang siap panen. Di sisi lain, perjalanan menuju tempat pertempuran (daerah Tabuk) sangat jauh dan sangat sulit.

Namun demikian Rasulullah mengambil sikap tegas, karena jika hal ini dibiarkan, maka kekuatan Romawi akan semakin berani dan mempengaruhi suku-suku yang selama ini sudah ditundukkan, sehingga kejahiliahan yang telah berhasil ditaklukkan dapat bangkit kembali. Itu artinya, kemenangan yang telah diraih menjadi terancam.

Menyadari hal tersebut sepenuhnya, -walaupun kondisi sangat sulit- Rasulullah memutuskan untuk menghadapi pasukan Romawi di perbatasan negeri mereka dan tidak membiarkan mereka masuk ke negeri Madinah.

Maka Rasulullah segera mengumumkan kepada para sahabatnya, suku-suku Arab dan penduduk Mekkah untuk bersiap-siap menghadapi peperangan. Karena itu, jika pada peperangan-peperangan sebelumnya, biasanya Rasulullah selalu menyembunyikan hasrat berperang, namun karena bahaya besar yang mengancam dan kondisi dalam negeri yang sulit, kali ini beliau mengumumkan secara terang-terangan bahwa mereka akan menghadapi pasukan Romawi, sehingga masalahnya menjadi jelas bagi masyarakat dan mereka segera menyiapkan segala sesuatunya dengan maksimal.
Mengenai hal ini, Allah kisahkan dalam sebagian dari surat at-Taubah yang memerintahkan mereka untuk tabah dan memotivasi bertempur. Rasulullah juga menyerukan untuk bershadaqah dan berinfak dengan harta yang paling bernilai di jalan Allah.

Setelah mendengar seruan Rasulullah¬, kaum muslimin berlomba-lomba menyambutnya. Suku-suku dari pedalaman segera menuju Madinah. Tidak ada seorangpun yang rela tertinggal dalam kesempatan ini, kecuali mereka yang hatinya sakit, dan tiga orang yang tertinggal dan akan dikisahkan berikut.
Bahkan orang-orang yang tidak mampu secara materi datang minta kepada Rasulullah agar diikutsertakan olehnya dalam pertempuran melawan Romawi tersebut, namun akhirnya mereka harus bersedih karena Rasulullah menyatakan tidak ada perbekalan yang cukup untuk mereka.

Hal itu Allah Ta’ala gambarkan dalam al-Quran :

“Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mata bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan“ (QS. at-Taubah: 92)

Kaum muslimin juga berlomba-lomba berinfaq dan bershadaqah. Utsman bin Affan yang telah menyiapkan rombongan dagang dengan 100 onta lengkap dengan muatannya dan 200 keping perak segera menginfaqkannya kepada Rasulullah bahkan ditambah dengan 1000 dinar emas. Rasulullah membolak balikkan harta tersebut seraya bersabda :

“Tidak ada lagi yang mencelakakan Utsman dari apa yang dia perbuat setelah hari ini”

Kemudian Utsman terus bershodaqah, hingga mencapai 900 onta, dan 100 kuda selain uang.

Abdurrahman bin Auf bershodaqah dengan 200 keping perak, Abu Bakar datang dengan membawa seluruh hartanya sedangkan untuk keluarganya tidak dia tinggalkan kecuali Allah dan Rasul-Nya, jumlahnya 4000 dirham, dan dialah yang pertama datang membawa shodaqohnya. Sedangkan Umar bin Khattab datang dengan setengah hartanya, Abbas bershodaqah dengan harta yang banyak, demikian juga Talhah, Sa’ad bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah, semuanya datang membawa hartanya, hingga ada yang datang membawa satu atau dua mud (sekitar seliter atau dua liter) korma, karena tidak dapat lagi berinfaq selain itu. Kaum wanitapun tak ketinggalan mereka berinfaq dengan kalung, gelang dan cincinnya.
Tidak ada seorangpun yang menahan hartanya dan bakhil kecuali orang-orang munafik. ¬

“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mu’min yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka” (Qs. at-Taubah: 79)

Setelah berbagai persiapan telah dilakukan, Rasulullah memerintahkan Muhammad bin Maslamah untuk berjaga di Madinah dan menitipkan ahlul bait-nya kepada Ali Bin Thalib. Orang-orang munafiq menyindir Ali tentang hal tersebut, sehingga beliau segera menemui Rasulullah untuk ikut berperang. Tapi Rasulullah minta dia kembali seraya berkata :

“Tidakkah kamu suka jika kedudukanmu seperti kedudukan Harun di sisi Musa, kecuali saja tidak ada nabi lagi setelah aku”

Pasukan kaum muslimin saat itu terdiri dari 30.000 prajurit, jumlah pasukan terbesar yang sebelumnya tidak pernah mencapai jumlah seperti itu. Sehingga sekalipun kaum muslimin telah memberikan infaq sebanyak-banyaknya, namun tetap tidak dapat memenuhi pasukan sebesar itu dengan layak. Bahkan pasukan mengalami kekurangan yang sangat banyak dalam masalah perbekalan dan kendaraan, hingga setiap satu onta dinaiki secara bergantian oleh 18 orang. Kadang-kadang mereka harus memakan dedaunan hingga mulut-mulut mereka bengkak. Bahkan untuk mendapatkan air minum mereka menyembelih ontanya yang sangat sedikit jumlahnya untuk mereka ambil simpanan air di perutnya. Karena itu pasukan ini dikenal dengan istilah Jaisyul ‘Usrah (Pasukan yang sangat memprihatinkan).

Di tengah perjalanan, tentara kaum muslimin sempat melewati bekas perkampungan kaum Tsamud. Ketika mereka akan mengambil air dari sumurnya, Rasulullah bersabda:

“Jangan kalian minum airnya, dan berwudhu dengannya. Adonan yang sudah kalian buat, agar diberikan kepada anta, jangan ada yang dimakan sedikitpun”.

Lalu Rasulullah memerintahkan mereka untuk minum dari sumur yang didatangi oleh ontanya Nabi Shaleh alaihissalam.

Di tengah perjalanan, pasukan mengalami kekurangan air, mereka mengadu kepada Rasulullah. Lalu beliau berdoa kepada Allah, hingga Dia menurunkan hujannya.
Dalam perjalanan ini Rasulullah selalu menjama’ antara shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya, kadang jama’ taqdim, kadang jama’ ta’khir.

¬Tibalah tentara Islam di Tabuk. Lalu mereka mendirikan tenda di sana untuk menghadapi musuh. Selama menetap di sana, Rasulullah menyampaikan khutbahnya yang berapi-api dan sangat menyentuh untuk memompa semangat prajuritnya. Beliau menyerukan jihad untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat, dan tidak lemah walau perbekalan yang kurang.

Ketika Bangsa Romawi dan sekutu-sekutunya mendengar kedatangan Rasulullah dan pasukannya, timbul rasa gentar pada mereka. Merekapun tak berani maju menghadapinya, justru mereka bercerai berai kembali ke negeri mereka masing-masing. Hal tersebut tentu saja semakin menguatkan posisi kaum muslimin di Jazirah Arabia, baik secara politik maupun militer.

Beberapa suku di perbatasan Romawi yang sebelumnya bersekutu dengan mereka, datang menghampiri Rasulullah dan menyatakan keberpihakannya kepada Rasulullah dengan menyerahkan jizyah (upeti) dalam jumlah yang sangat besar.

Maka dengan demikian semakin luaslah kekuasaan Islam hingga perbatasan Negeri Romawi.

Tentara Islam akhirnya kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan. Di tengah perjalanan, ketika Rasulullah berjalan agak menjauh dari rombongan ditemani oleh Ammar bin Yaqud dan Huzaifah bin al-Yaman, kaum munafiq yang tergabung dalam pasukan kaum muslimin, dengan menutup muka mereka, berusaha membunuh Rasulullah. Namun Huzaifah bin al-Yaman segera menghalau mereka dengan menghunjam kuda-kuda mereka, sehingga mereka ketakutan dan kabur, lalu berbaur lagi dengan pasukan inti. Rasulullah menyebutkan nama-nama mereka kepada Huzaifah, sehingga beliau dikenal sebagai Sahabat pemilik rahasia Rasulullah (Shohibu Sirri Rasulillah¬).

Di Madinah mereka disambut gegap gempita oleh kaum muslimin. Kaum wanita dan anak menyambut suami dan sanak saudara mereka seraya bersenandung:

Bulan purnama telah terbit di atas kita
Dari balik Tsaniyyatilwada’
Kita wajib bersyukur
Atas seruan kepada Allah oleh penyeru (Rasul)-Nya

Rasulullah keluar dari Tabuk pada bulan Rajab dan kembali di bulan Ramadhan. Keseluruhannya memakan waktu 50 hari. Di Tabuk beliau menetap selama 20 hari. Dan inilah peperangan terakhir yang diikuti Rasulullah.

Perang Tabuk -karena kondisinya yang sangat sulit- adalah ujian dari Allah Ta’ala untuk menyeleksi kaum muslimin, sebagaimana yang selalu Allah nyatakan dalam kondisi seperti itu :

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min)” (QS. Ali Imran: 179)

Pada peperangan tersebut, ada tiga golongan yang tertinggal di Madinah:

  1. Kaum munafiq. Setelah Rasulullah kembali, mereka datang dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, bahkan mereka bersumpah untuk itu. Rasulullah menerima alasan mereka yang tampak, sedangkan yang tersembunyi beliau serahkan kepada Allah Ta’ala.
  2. Kaum muslimin yang benar-benar memiliki udzur karena sakit atau lemah atau tidak memiliki perbekalan. Untuk mereka Allah berfirman :
    “Tidak dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya” (Qs. At-Taubah: 91)
    Alasan mereka diterima dan bahkan dikatakan mendapatkan pahala yang sama dengan mereka yang ikut serta. Rasulullah bersabda:
    “Sesungguhnya di Madinah ada orang-orang yang tidak menempuh perjalanan dan mengarungi lembah seperti kalian, akan tetapi mereka bersama kalian, karena mereka terhalang oleh udzur”, para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, walau mereka di Madinah”, “Ya, mereka di Madinah”.
  3. Tiga orang Sahabat yang benar imannya, bukan orang munafiq, namun mereka juga tak memiliki udzur. Mereka adalah: Ka’ab bin Malik, Muroroh bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Dengan jujur mereka mengaku kelalaiannya.
    Sebagai hukuman untuk mereka, Rasulullah melarang para sahabat lainnya untuk berbicara dengannya, bahkan setelah empat puluh hari hukuman tersebut, beliaupun melarang isteri-isteri mereka untuk berbicara kepadanya. Hukuman yang sangat berat mereka tanggung dan membuat hidup mereka sangat sempit. Namun akhirnya setelah 50 hari, Allah terima taubat mereka dan disambut dengan gembira oleh kaum muslimin :
    “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Qs. At-Taubah: 118).

Setelah perang Tabuk, kaum muslimin semakin kuat. Kini perlakuan terhadap kaum munafiq tidak lagi bersifat lemah lembut. Allah memerintahkan bersikap tegas terhadap mereka, bahkan kaum muslimin dilarang menerima shadaqah dan shalat bersama mereka, memohonkan ampunan serta menyalatkan mayat mereka. Kemudian diperintahkan pula untuk menghancurkan mesjid Dhiror yang mereka bangun. Juga Allah terangkan sifat-sifat mereka dengan jelas, sehingga seakan-akan ayat-ayat tersebut menunjuk nama mereka satu persatu yang berada di Madinah.

Setelah perang Tabuk ini pula gembong kaum munafik; Abdullah bin Ubay bin Salul, meninggal dunia. Rasulullah memintakan ampunan untuknya dan menyolatkannya, sebelumnya Umar bin Khattab telah berusaha menghalanginya. Kemudian turun ayat Al-Quran yang membenarkan tindakan Umar tersebut

Peristiwa lainnya yang terjadi setelah perang Tabuk adalah:

  1. Terjadinya peristiwa Li’an antara Umaimir dan Isterinya.
  2. Dirajamnya wanita Ghamidiah setelah dia mengaku berbuat zina. Namun pelaksanaannya Rasulullah tunggu setelah dia selesai menyapih anaknya.
  3. Meninggalnya putri Rasulullah¬; Ummu Kultsum, isteri Utsman bin Affan. Beliau sangat bersedih, sehingga berkata kepada Utsman; “Seandainya aku masih memiliki putri ketiga, niscaya alam kunikahkan dia dengan engkau”
  4. Meninggalnya Raja Najasyi, lalu Rasulullah melaksanakan shalat ghaib untuknya.
Back To Top