skip to Main Content
admin@sirohnabawiyah.com
Perang Badar

Perang Badar

sumber : http://tirto.id

Meskipun Rasulullah serta para sahabat telah hijrah ke Madinah dan mulai mapan tinggal di sana, namun hal tersebut tidak membuat orang-orang kafir Quraisy berdiam diri. Mereka justru gencar melakukan ancaman dan rencana penyerangan.

Hal tersebut tidak dianggap remeh oleh Rasulullah dan para sahabat, sehingga mereka selalu dalam keadaan siap siaga menghadapi kemungkinan terjadinya penyerangan.

Dalam kondisi yang menegangkan seperti itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mengizinkan kaum muslimin berperang untuk menyingkirkan kebatilan dan menegakkan syi’ar Allah.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (QS. al-Haj : 39)
Namun demikian, setelah turunnya ayat tersebut, tidak serta merta Rasulullah mengadakan peperangan terhadap kaum kafir Quraisy yang saat itu memang masih sangat kuat. Langkah pertama yang Rasulullah lakukan adalah menguasai jalur perdagangan kaum Quraisy antara Mekkah dan Syam. Untuk itu, Rasulullah meletakkan dua strategi jitu:

Pertama, Mengadakan perjanjian dengan suku-suku di sekitar jalur perdagangan tersebut dan tidak mengganggu mereka.

Kedua, Membentuk dan mengirim tim-tim patroli untuk tugas pengintaian dan antisipasi kemungkinan terjadinya serangan musuh, juga untuk mengetahui seluk beluk jalan keluar kota Madinah atau jalan menuju Mekkah.

Tercatat beberapa kejadian pada waktu itu, dimana satu regu yang ditugaskan Rasulullah melakukan patroli militer, dan nyaris sempat terjadi beberapa kali bentrokan, namun tidak sampai membesar. Sekaligus sebagai isyarat kepada kaum Yahudi dan Arab Badui akan kekuatan kaum muslimin juga peringatan bagi kaum Quraisy tentang hal tersebut.

Di antara tim yang cukup dikenal adalah tim yang dipimpin Abdullah bin Jahsy. Tim ini diutus pada bulan Rajab tahun ke-2 H, = tahun 624 M, terdiri dari 12 orang Muhajirin. Rasulullah membekali tim ini dengan sepucuk surat yang tidak boleh mereka buka kecuali setelah perjalanan dua hari. Lalu setelah dua hari perjalanan surat tersebut mereka buka suratnya, isinya adalah:

“Jika kalian telah membaca suratku, berjalanlah menuju Nakhlah yang terletak antara Mekkah dan Tha’if, intailah rombongan Quraisy, dan informasikan kepada kami beritanya”

Karenanya tim ini dikenal dengan Saraya Nakhlah. Namun, di luar rencana, tim ini melakukan penyergapan terhadap kafilah dagang Quraisy tersebut, sehingga ada di antara mereka yang terbunuh dan tertawan, serta harta mereka dirampas. Padahal saat itu masih bulan Rajab yang dikenal masyarakat Arab sebagai bulan suci yang tidak boleh ada pembunuhan dan peperangan, karenanya tindakan mereka tidak disetujui oleh Rasulullah.
Orang-orang kafir yang mendengar berita itu, segera menyebarkan isu negatif bahwa kaum muslimin telah melanggar perintah Allah. Sehingga terjadi berbagai komentar dalam masalah ini. Namun Allah Ta’ala menurunkan wahyu-Nya untuk menjawab tuduhan orang kafir tersebut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah (menganiaya dan menindas Islam dan kaum muslimin) lebih besar dosanya daripada membunuh” (QS. al-Baqarah : 217)

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan kaum musyrikin selama ini terhadap kaum muslimin di tanah haram jauh lebih besar dan melanggar ajaran Allah Ta’ala daripada tindakan sejumlah sahabat waktu itu yang berperang di bulan haram.

PERANG BADAR KUBRO (Ramadhan, 2 Hijriah)
Perang Pertama Yang Sangat Menentukan

Rasulullah memerintahkan Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid menuju ke arah utara untuk tugas pengintaian. Setelah mereka tiba di sebuah tempat di Haura’ dan menetap beberapa lama di sana, akhirnya mereka mendapatkan informasi akurat bahwa Kafilah dagang Abu Sufyan yang membawa hasil dagangan sangat banyak sedang dalam perjalanan pulang dari negeri Syam menuju Mekkah. Mereka segera kembali ke Madinah dan menginformasikan berita tersebut kepada Rasulullah.

Bagi Rasulullah, hal ini merupakan kesempatan emas untuk memberi pelajaran kepada kaum Quraisy; baik secara militer, politik maupun ekonomi.

Beliau segera mengumumkan kepada para sahabat, bagi siapa yang bersedia, hendaknya bersiap-siap menghadang kafilah dagang Quraisy. Rasulullah tidak mewajibkan hal tersebut dan menyerahkan keputusannya kepada para sahabat. Karena itu, tidak semua sahabat saat itu menyambut seruan beliau, mereka mengira hal tersebut sama seperti pengiriman pasukan sebelumnya yang hanya memerlukan kekuatan kecil dan tidak mengira akan terjadi peperangan besar.

Akhirnya sahabat yang menyatakan kesediaannya berjumlah 314 orang saja. Itupun mereka tidak mempersiapkannya secara maksimal sebagaimana halnya menghadapi sebuah peperangan. Pasukan penunggang kuda hanya 2 orang, sedang onta yang tersedia berjumlah 70, dinaiki secara bergantian oleh 2 atau 3 orang. Kemudian berangkatlah mereka menuju Badar.

Sementara itu, Abu Sufyan -dengan kecerdikannya- yang mengepalai kafilah dagangnya sudah memperkirakan akan terjadinya sesuatu, karena itu, kehati-hatiannya selalu dijaga. Setelah bertanya ke sana ke mari, akhirnya dia dapat memastikan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya akan menyergapnya. Seketika itu juga, dia sewa Dhomdhom bin Amr al-Ghifari untuk segera ke Mekkah meminta bantuan.

Setibanya di Mekkah, Dhomdhom berteriak dengan keras meminta kaum Quraisy untuk membela Abu Sufyan yang terancam serangan Rasulullah dan para sahabatnya.

Penduduk Mekkah segera bersiap-siap mengirim pasukannya untuk menyelamatkan kafilah dagang Abu Sufyan. Akhirnya terkumpul tentara dengan persenjataan lengkap berjumlah 1300 orang, 100 kuda, 600 baju besi dan sekian banyak onta yang tidak diketahui pasti jumlahnya. Panglima perang dipegang oleh Abu Jahal bin Hisyam.

Lalu berangkatlah mereka menuju kota Madinah. Namun di tengah perjalanan, mereka kembali menerima surat dari Abu Sufyan, bahwa kafilahnya berhasil menghindar dari sergapan Rasulullah karenanya dia meminta mereka kembali ke Mekkah.

Dengan kesombongannya, Abu Jahal menolak kembali ke Mekkah. Dia justru bersikeras membawa pasukannya ke Badar. Namun sebagian pasukannya yang berjumlah 300 orang ada yang kembali ke Mekkah dan tidak ikut dalam peperangan Badr.
Kini tentara Kafir Quraisy tinggal berjumlah 1000 orang.

Setelah mengetahui kedatangan pasukan Kafir Quraisy, dan mereka semakin dekat ke Badr, sementara kafilah Abu Sufyan telah menghindar semakin jauh tak terkejar, tentara kaum muslimin berada dalam kebimbangan. Akankah mereka harus menghadapi pasukan Abu Jahal yang jumlahnya jauh lebih besar dengan persenjataan lengkap, sementara mereka berjumlah sangat sedikit dengan persenjataan apa adanya ?.

Menghadapi kondisi yang kritis tersebut, Rasulullah mengajak para sahabatnya bermusyawarah. Sebagian pasukan ada yang khawatir menghadapi pertempuran berdarah tersebut, sebagaimana Allah kisahkan dalam ayat-Nya :

“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu)”. (QS. al-Anfal : 5)

Setelah bermusyawarah, akhirnya mereka sepakat menghadapi pasukan kafir Quraisy dan siap menanggung berbagai kemungkinan yang terjadi. Maka merekapun akhirnya melanjutkan perjalanannya untuk menghadapi pasukan musyrikin.

Rasulullah tetap berupaya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang pasukan musuh, bahkan tampak dari sana bagaimana kecerdikan Rasulullah menggali informasi dengan tetap menjaga rahasia dirinya.

Tidak jauh di sekitar markas pasukan kaum muslimin, Rasulullah dan Abu Bakar ash-Shiddiq bertemu dengan seorang tua dari suku Arab. Rasulullah bertanya kepadanya tentang berita dua pasukan; Quraisy dan pasukan Muhammad.
Orang tua tersebut balik berkata :
“Saya tidak akan kabarkan kalian sebelum kalian khabarkan siapa kalian?”
“Jika kamu khabarkan kepada kami, kami akan khabarkan kepadamu (siapa kami)” Jawab Rasulullah
“Oh, jadi berita tukar berita?”
“Ya”

Orang tua itu mulai mengabarkan bahwa jika semua informasi yang dia dengar benar, pasukan Muhammad sudah berada di tempat ini dan ini, sedang pasukan Quraisy sekarang sudah berada di tempat ini dan ini.

Setelah selesai mengabarkan hal tersebut, tak lupa orang tua tersebut bertanya kepada Rasulullah : “Dari mana kalian ?”. Sambil pergi tergesa-gesa, Rasulullah menjawab : “ Dari Ma’ (Air)” 1
Orang tua itu termangu-mangu, sambil bertanya-tanya; “(Suku) Ma’ yang mana ? Ma’ yang di Irak ?”.

Di lain waktu, pasukan kaum muslimin berhasil menangkap dua orang bocah yang sedang mengambil air untuk memberi minum pasukan Mekkah.

Terjadilah dialog antara Rasulullah dengan kedua anak tersebut,
“Ada berapa jumlah mereka ?”,
“Banyak”, jawab mereka.
“Berapa persisnya ?”
“Kami tidak tahu”
“Berapa onta yang disembelih tiap hari ?”
“Kadang sembilan, kadang sepuluh”
“Kalau begitu jumlah mereka antara 900 hingga 1000 pasukan”2

1) Yang Rasulullah maksudkan air di sini adalah air mani. Artinya bahwa Rasulullah, dan juga semua manusia memang berasal dari setetes air mani. Sedangkan orang tua tersebut barangkali beranggapan Ma’ disini adalah nama sebuah suku yang dikenal pada waktu itu. Ucapan seperti ini dikenal dengan istilah Tauriyah.
2) Dengan perkiraan setiap satu onta cukup untuk 100 orang.

Pasukan kaum muslimin terus bergerak menuju Badar agar tiba lebih dahulu dan dapat menguasai sumber-sumber air di Badr. Maka di waktu Isya, mereka tiba di sumber air terdekat dan berhenti di sana.

Khabab bin Munzdir sebagai ahli strategi militer bertanya kepada Rasulullah;
“Ya Rasulullah, bagaimana menurutmu tempat ini, apakah ini merupakan ketetapan Allah, sehingga kita tidak dapat maju atau mundur darinya atau ini cuma pendapatmu dan siasat perang?”.
“Tidak, ini cuma pendapat saya dan siasat perang”, jawab Rasulullah .
“Kalau begitu ya Rasulullah, ini bukan tempat yang cocok. Bangunkan pasukan untuk menuju mata air yang lebih dekat lagi dengan pasukan musuh, lalu kita bermarkas di sana dan kita rusak mata air lainnya, lalu kita buat kolam dan kita penuhkan dengan air, sehingga kita bisa minum sedang mereka tidak”
“Engkau telah memberikan pendapat (yang bagus)” puji Rasulullah.

Akhirnya Rasulullah dan pasukannya bangkit dan melakukan apa yang diusulkan Khabab bin Mundzir.

Setelah itu dibuatkan panggung untuk tempat Rasulullah yang berfungsi sebagai pusat komando dan antisipasi jika terdesak, lalu dipilih seorang pemuda bernama Sa’ad bin Mu’adz sebagai pemimpin pasukan pengawal Rasulullah di pusat komando tersebut.

Pada malam harinya Rasulullah memberikan arahan-arahan kepada pasukan. Kemudian beliau melalui malamnya dengan shalat di sebuah pangkal pohon sementara kaum muslimin dapat tidur dengan tenang, penuh rasa percaya diri untuk menghadapi pertempuran keesokan harinya.

“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menakutkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)” (QS. al-Anfal : 11)

Malam itu tepatnya malam Jum’at, tanggal 17 Ramadhan, tahun ke-2 Hijriah.

Sementara itu, di kalangan pasukan Quraisy, terjadi perselisihan, antara mereka yang berniat mengurungkan peperangan, dengan mereka yang tetap bertekad untuk melanjutkan peperangan. Namun atas kemauan keras Abu Jahal, akhirnya mereka menetapkan untuk tetap mengadakan peperangan menghadapi pasukan Rasulullah.

Pada hari yang telah ditentukan, kedua pasukan yang telah siap berperang sudah saling berhadapan satu sama lain. Rasulullah segera menyiapkan pasukan perangnya, seraya berpesan kepada mereka agar tidak memulai peperangan kecuali ada komando khusus darinya.

Sebelum memulai peperangan, pasukan Quraisy mengeluarkan tiga tentaranya untuk mengajak adu tanding kepada pasukan Muslimin. Mereka adalah Utbah dan saudaranya; Syaibah bin Rabi’ah serta Walid bin ‘Utbah.

Menanggapi hal tersebut, dari pasukan kaum muslimin, keluar tiga orang prajurit dari kalangan Anshar. Namun dengan sombong, mereka ditolak oleh ketiga prajurit Quraisy tersebut. Mereka meminta lawan yang sebanding dari suku mereka sendiri. Akhirnya Rasulullah memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah bin Abdul-Muththalib serta Ali bin Abi Thalib untuk meladeni mereka.

Maka Ubaidah yang saat itu masih sangat muda menghadapi ‘Utbah bin Rabi’ah, sementara Hamzah menghadapi Syaibah dan Ali bin Thalib menghadapi Walid bin Utbah.

Hamzah dan Ali tidak memerlukan waktu yang lama untuk mengalahkan dan membunuh lawannya, sementara Ubaidah baru dapat mengalahkan lawannya setelah dibantu oleh Hamzah dan Ali, sedangkan Ubaidah sendiri luka parah, dan kemudian meninggal seusai perang Badar.

Setelah perang tanding selesai, kaum musyrikin yang dipimpin para komandannya dengan beringas langsung menyerbu pasukan kaum muslimin. Namun dengan kesabaran, keteguhan dan mengharap pertolongan Allah Ta’ala, mereka bertahan menghadapi serbuan kaum musyrikin.

Rasulullah yang menyaksikan pertempuran tersebut tak henti-hentinya berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar diberikan kemenangan dan pertolongan hingga selendangnya jatuh dari pundaknya, bahkan beliau berdoa:

“Ya Allah, jika pasukan ini kalah hari ini, maka Engkau tidak disembah, Ya Allah, jika Engkau kehendaki, Engkau tidak disembah lagi hari ini”

Abu Bakar mengembalikan selendang tersebut kepada Rasulullah seraya berkata :
“Cukuplah ya Rasulullah, engkau telah memohon dengan sangat kepada Rabbmu”.

Kemudian Allah Ta’ala mewahyukan kepada malaikat-Nya :

“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir” (QS al-Anfal : 12) Kemudian kepada Rasulullah, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut” (QS. al-Anfal : 9)

Maka setelah itu, datanglah bantuan Allah Ta’ala berupa para malaikat yang datang dengan berbaris. Rasulullah yang mengetahui hal tersebut sangat gembira dan segera memberitahu Abu Bakar yang berada di sampingnya tentang hal tersebut.

Setelah beberapa lama pasukan kaum musyrikin menyerbu, kaum muslimin terus bertahan dengan kokoh dan tidak dapat dilumpuhkan, bahkan banyak pasukan kaum musyrikin yang menemui ajalnya. Hal tersebut, tentu saja membuat mental kaum musyrikin menjadi jatuh.

Pada kondisi seperti itulah, Rasulullah memberikan komando untuk melakukan serangan balik terhadap kaum musyrikin. Maka dengan semangat yang semakin membara, pasukan kaum muslimin balik menyerbu kaum musyrikin yang sudah melemah semangatnya.

Kekuatan kaum muslimin semakin besar dengan bantuan para malaikat dalam barisan mereka, sehingga banyak pasukan Quraisy yang tewas dan tidak diketahui siapa yang membunuhnya.

Akhirnya sedikit demi sedikit kekalahan kaum musyrikin semakin tampak, peperangan sudah mulai berakhir, pasukan kaum musyrikin banyak yang lari tunggang langgang dikejar-kejar kaum muslimin.

Tinggal Abu Jahal dan beberapa orang pasukannya yang melindunginya tetap bertahan dengan kesombongannya. Namun serbuan pasukan kaum muslimin yang bertubi-tubi, membuat mereka tumbang satu persatu, hingga akhirnya Abu Jahal terbunuh oleh dua orang anak muda yang bernama Mu’az bin Amr bin Al Jamuh dan Mu’awwiz bin Afra’.

Setelah kematian Abu Jahal, peperangan Badr berakhir dengan kekalahan besar di pihak kaum musyrikin. Di kalangan mereka terbunuh 70 orang, sebagian besar adalah para panglima perang dan tokoh-tokoh Quraisy dan yang tertawan juga 70 orang. Sedangkan di pihak kaum muslimin, ada 14 orang yang mati syahid.

Penduduk Mekkah menerima berita kekalahan pasukan mereka dengan kesedihan mendalam. Namun mereka dilarang meratapi sanak saudara mereka yang mati dalam perang Badr, agar kaum muslimin tidak bergembira dengan keadaan tersebut.

Ada kisah unik dalam hal ini. Ada orang tua dari mereka yang kehilangan tiga anaknya, sudah berhari-hari ingin menumpahkan kesedihannya. Namun karena dilarang meratap, hal tersebut dia tahan dalam dirinya. Hingga suatu hari terdengar suara ratapan wanita. Maka orang tersebut memerintahkan anaknya untuk menyelidiki, apakah kini sudah dibolehkan meratapi kematian. Ternyata setelah diselidiki, wanita tersebut sedang meratapi ontanya yang hilang.

Setelah peperangan, Rasulullah masih menetap di Badr selama tiga hari saat itu sempat terjadi perbedaan di kalangan para sahabat tentang ghanimah perang. Karena ada sebagian sahabat yang langsung berhadapan dengan musuh dan mengumpulkan ghanimah, ada sebagian lagi yang menjaga Rasulullah sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya Rasulullah minta semua ghanimah dikumpulkan.

Dalam hal ini turunlah wahyu dari Allah Ta’ala :

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman” (QS. al-Anfal : 1)

Setelah tiga hari, Rasulullah dan pasukannya bergerak kembali ke Madinah dengan membawa ghanimah dan tawanan perang. Di tengah perjalanan harta rampasan perang yang sebelumnya beliau kumpulkan dibagi sama rata kepada pasukannya setelah sebelumnya diambil seperlimanya.

Setiba di Madinah, pasukan disambut meriah oleh kaum muslimin penduduk Madinah. Di sisi lain hal tersebut menimbulkan ketakutan musuh-musuh Islam di Madinah dan sekitarnya. Maka banyak di antara penduduk Madinah yang masuk Islam. Termasuk di antaranya Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya menyatakan masuk Islam secara lahir (munafik).

Sejumlah tawanan perang Rasulullah bagi kepada para sahabatnya dengan pesan agar diperlakukan dengan baik.

Mengenai kaum musyrikin yang menjadi tawanan perang, Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar dan Umar bin Khattab radiallahuanhuma. Abu Bakar berpendapat agar mereka memberikan tebusan untuk kebebasan mereka, sedangkan Umar berpendapat agar mereka semuanya dibunuh saja. Akhirnya Rasulullah lebih condong kepada pendapat Abu Bakar.

Maka setiap tawanan diperintahkan untuk membayar empat ribu dirham sebagai tebusannya. Sedangkan mereka yang tidak memiliki harta, sebagai tebusannya diperintahkan untuk mengajarkan kaum muslimin baca tulis hingga mampu.

Namun demikian, keputusan yang Allah kehendaki sebenarnya adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khattab. Maka keesokan harinya Allah turunkan ayat yang menegur keputusan tersebut, sebagaimana firman-Nya :

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil” (QS. al-Anfal : 67-68)

Kisah tentang perang Badr ini banyak Allah kisahkan dalam surat al-Anfal.

Kemenangan kaum muslimin di sisi lain, menimbulkan sikap permusuhan di berbagai kalangan :

  1. Kaum musyrikin Mekkah, menyatakan secara terang-terangan kesiapan mereka untuk membalas kekalahan pada perang Badr.
  2. Kelompok Yahudi, secara terang-terangan menampakkan kebencian terhadap kaum muslimin, meskipun mereka telah terikat perjanjian dengan kaum muslimin.
  3. Kaum Munafiq, yaitu kelompok yang berpura-pura masuk Islam padahal sebenarnya mereka membenci dan memusuhi Islam, mereka tidak kalah berbahaya dari yang lain.
  4. Kelompok masyarakat Badui, yang belum masuk Islam, yang merasa khawatir dengan kemenangan Islam akan membuat mereka tidak banyak berkutik untuk menjarah barang-barang dagangan para saudagar yang lewat di kampung-kampung mereka.
Back To Top