skip to Main Content
admin@sirohnabawiyah.com

Tahun Kenabian

Setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi untuk mengasingkan diri. Beliau membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira’ yang terletak di jabal an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Di dalam gua tersebut, beliau berpuasa bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya. Beliau menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu. Kaumnya yang masih menganut ‘aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh membuatnya tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang jelas, manhaj yang terprogram serta cara yang terarah yang membuatnya tenang dan setuju dengannya.

Pilihan mengasingkan diri (‘uzlah) yang diambil oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir (aturan) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya hubungannya dengan kesibukan- kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan nestapa-nestapa kecil yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan dalam mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap mengemban amanah kubro (besar), merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah.

Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya (‘uzlah) di gua Hira’, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi di usia 40 tahun dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat al-Qur’an.

‘Aisyah ash-Shiddiqah radhiallâhu ‘anha menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan noktah permulaan nubuwwah tersebut: “Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berupa ar-Ru’ya ash-Shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan ar- Ru’ya itu hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di gua Hira’; beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya. Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira’ tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata: “bacalah!”, lalu aku menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur lagi: “kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata: “bacalah!”. Aku tetap menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Lalu dia untuk kedua kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga kemudian melepaskanku seraya berkata lagi: “bacalah!”. Lalu aku tetap menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Kemudian dia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, sembari berkata: “bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu lah Yang Paling Pemurah”. (Q.S. al-‘Alaq: 1-3).

Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap: “selimuti aku! Selimuti aku!”. Beliau pun diselimuti hingga rasa ketakutannya hilang. Beliau bertanya kepada Khadijah: “apa yang terjadi terhadapku ini?”. Lantas beliau menceritakan pengalamannya, dan berkata: “aku amat khawatir terhadap diriku!”. Khadijah berkata: “sekali-kali tidak akan! Demi Allah! Dia Ta’ala tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali rahim, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu serta penolong setiap upaya menegakkan kebenaran”. Kemudian Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, anak paman Khadijah (sepupunya). Dia (anak pamannya tersebut) adalah seorang yang menganut agama Nashrani pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan ‘Ibrani dan sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis –sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan ‘Ibrani. Dia juga, seorang yang sudah tua renta dan buta; ketika itu Khadijah berkata kepadanya: “wahai anak pamanku! Dengarkanlah (cerita) dari anak saudaramu!”. Waraqah berkata: “wahai anak laki-laki saudara (laki-laki)- ku! Apa yang engkau lihat?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah berkata kepadanya: “sesungguhnya inilah sebagaimana ajaran yang diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “benarkah mereka akan mengusirku?”. Dia menjawab: “ya! Tidak seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membantumu dengan sekuat tenaga”. Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).

Ibnu Hajar berkata: “Masa stagnan itu sungguh telah menghilangkan ketakutan yang telah dialami oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan membuatnya bersemangat untuk kembali mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam untuk kedua kalinya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang masa stagnan itu, beliau bercerita: “Ketika aku tengah berjalan-jalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit, lalu aku mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat yang dulu mendatangiku ketika di gua Hira’ duduk diatas kursi antara langit dan bumi. Melihat hal itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku mendatangi keluargaku sembari berkata: ‘selimutilah aku! Selimutilah aku!’. Lantas mereka menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat al- Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhalmuddatstsir….hingga firmanNya: …fahjur’. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu tetap terjaga dan datang secara teratur”

Back To Top